Identitas
Buku :
Judul
Buku : Douwes Dekker
“Sang Inspirator Revolusi”
Pengarang : Seri Buku Tempo
Penerbit : Tempo
Tahun Terbit : 2012
Jumlah
Halaman : xii + 168
halaman
Review :
Sang Inspirator Revolusi
Di dalam
tubuhnya mengalir darah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa, tapi semangatnya
lebih menggelora ketimbang penduduk bumiputra. Pemerintah kolonial Belanda
menerapkan cap berbahaya kepadanya. Ia, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
atau nama Jawanya adalah Danudirja Setiabudi, orang pertama yang mendirikan
partai politik Indonesia. Meski bukan penduduk Indonesia tulen, ke mana-mana
Ernest Douwes Dekker selalu mengaku sebagai orang Jawa. Kecintaannya kepada
Hindia memang luar biasa. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya demi kemerdekaan
Indonesia. Sebagai penggerak revolusi, gagasan Ernest melampui zamannya. Tur
propagandanya menginspirasi Tjokroaminoto dalam menghimpun massa. Konsep
nasionalismenya mempunyai andil saat Sukarno mendirikan Partai Nasional
Indonesia. Tapi ia hidup di pembuangan ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan.
Setiap
ucapan dan tulisan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker mengundang curiga
pemerintah Hindia-Belanda. Ia dianggap agitator berbahaya. Dari rumahnya di
kompleks STOVIA, dia menyusupkan pandangan kebangsaan Hindia kepada
pemuda-pemuda terpelajar di sekolah kedokteran Jawa. Dan sejarah Republik
mencatatnya sebagai motor penggerak zaman baru dengan mendirikan Indische Partij,
partai politik pertama Hindia-Belanda yang berdiri pada tanggal 6 September
1912. Di dalam Insische Partij Douwes Dekker berhasil membuat Tjipto
Mangoenkoesoemo yaitu kawan lamanya bergabung dengan partai yang ia dirikan dan
juga berhasil menarik perhatian Soewardi
Soerjaningrat atau nama lainnya adalah Ki Hajar Dewantara bergabung bersamanya.
Mereka membangun Indische Partij bersama dan banyak merekrut anggota baru.
Sampai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Berdarah
campuran Eropa-Jawa, Ernest Douwes Dekker tumbuh di Pasuruan, kota kecil di
pesisir utara Jawa Timur. Jiwa pemberontak pria yang masih memiliki hubungan
darah dengan pengarang Max Havelaar,
Eduard Douwes Dekker, ini mengental saat bekerja di dua perkebunan di kawasan
rumahnya. Melihat kaum pribumi ditindas, Douwes Dekker mundur. Pada usia 20
tahun, ia angkat senjata melawan Inggris di Republik Transvaal, Afrika Selatan.
Peluru menembus tubuh Douwes Dekker. Sempat ditahan tentara Inggris, ia
dijuluki “anak pemberani”. Petualangan asmara Douwes Dekker tak kalah seru.Douwes
Dekker menikah tiga kali, semuanya dengan perempuan Indonesia. Salah satu
cucunya yaitu Olave Joan Roemer, cucu setiabudi dari Sieglinde Ragna Sigrid,
putri bungsunya, mengaku hanya tiga kali bertemu dengan sang kakek yang tak
lain adalah Ernest Douwes Dekker.
Bersama
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker dibuang
ke Belanda. Di situ pun tiga serangkai ini getol menyuarakan perjuangan
Indische Partij. Hukuman berat ia alami saat diasingkan, ke kamp gelap di
Suriname, dengan kebutaan yang masih menderanya. Meminjam nama Jopie Radjiman,
ia nekat kembali ke Tanah Air untuk terus menyuarakan cita-cita Indische Partij
: Kemerdekaan Hindia atau Indonesia.
Mengaku
sebagai orang Jawa yang anti-Belanda, Ernest Douwes Dekker memiliki peran
sentral di lingkaran Sukarno saat usia Republik masih muda. Ia sering sowan ke
Padepokan Taman Siswa, Sekolah yang didirikan Ki Hadjar Dewantara, bila tak ada
kesibukan di Istana Negara. Sang pemberani ini masuk Masyumi karena tertarik
ide pergerakan Islam modern yang diusung Natsir. Tak lama setelah dibebaskan
Belanda, Douwes Dekker tamat oleh penyakit. Jantungnya lemah, parunya
digerogoti bronkitis. Di saat-saat terakhir, ia masih sempat bergurau tentang
tubuhnhya yang bernasib sama seperti Republik, “Jalan 100 meter, berhenti
didorong-dorong.”